Lebih baik punya ending daripada gak pernah punya cerita
--
Sebenernya kalau mau bener-bener khawatir soal masa depan, itu bukan memikirkan gimana profesi kita kedepannya apakah akan tetap relevan atau tidak.
“Programmer tidak bisa selamanya ngoding sampai tua!”
“Pebisnis tidak bisa selamanya terlibat dalam operasional perusahaan!”
“Pedagang gak selamanya untung!”
“Buruh tidak bisa pensiun!”
“AI akan menggantikan pekerjaan mu!”
“Switch career saja beternak lele!”
Bukan khawatir soal itu semua sih, kayanya. Kalo saya malah mikirnya; If you don’t find a way where you make money while you sleep, you will work until you die.
Jadi bukan tentang profesinya. Tapi tentang membangun asset.
Dan tentu saja saya tidak bisa bercerita banyak tentang cara membangun asset karena masih struggle di ramen profitable. Tapi setidaknya arah tujuannya udah kebentuk mau apa, mau kemana, hendak mencari apa, menumpuk uang untuk apa. Itu mah lagunya Tulus yang berjudul Kelana.
Namun tentu saja, hidup ini terlalu singkat jika hanya ingin jadi pemenang dalam perlombaan mengejar uang. Mungkin kamu tidak tahu dimana rizkimu. Tapi rizkimu tau dimana dirimu. Sudah dijamin dari sejak 4 bulan 10 hari kita di dalam kandungan.
Eh tapi rizki bukan hanya tentang uang kan? Ah, gini nih kalau fakir ilmu. Sekarang mulai kerasa pentingnya berguru.
Bakar Kapal
Senin, 28 Agustus 2023.
Ini adalah tulisan hari ketiga dari 30 hari membangun habit bercerita. Aku ingin melakukannya dengan konsisten untuk melatih semua indra yang digunakan saat menulis cerita. Demi mewujudkan satu dari sekian banyak mimpiku yaitu ingin menjadi penulis skenario.
Dan hari ini yang lagi pengen diceritain adalah tentang: Bakar Kapal.
Serem amat ya, hehehe! Tenang aja itu hanya sebuah analogi kok. Bakar Kapal itu adalah saya mengkondisikan diri untuk mempersempit pilihan hidup dengan cara membakar opsi-opsi. Dan ketika sudah menentukan pilihan A, maka opsi yang tersisa dibakar sehingga there’s no turning back.
Kalau dipikir-pikir, mungkin orang akan melihat saya terlalu strict dan kurang fleksibel. Pasti ada cara yang aman dan lebih baik. Persisten dengan tujuannya, fleksibel dengan caranya.
In a way, iya, itu benar dan seharusnya bisa dilakukan. Tapi disisi lain malah menambah kompleksitas dalam pengambilan keputusan. Semakin banyak variabel, semakin sulit mengambil keputusan. Ada juga yang bilang harus meminimalisir resiko. Iya saya sangat setuju dengan itu. Tapi lebih setuju lagi dengan eksekusi apapun resikonya ~whatever it takes.
Lantas bagaimana jika ending dari pengambilan keputusan tersebut gagal dan salah? Terus terang takut sih. Siapa juga yang mau gagal. Gak ada yang mau gagal. Semua orang ingin berhasil. Mau dimotivasi dengan kalimat; “Tidak ada yang namanya kegagalan. Yang ada hanyalah sukses atau belajar!” Tetap saja ketika gagal mah sakit cuii. Dan ketika rasa takutnya semakin besar, semakin besar pula alasan kita untuk main aman.
Tidak ada yang salah dengan main aman. Sama sekali tidak ada yang salah. Terlebih lagi setelah kalkulasi sana-sini, ternyata asumsi kita resikonya sangat tidak sebanding. Maka main aman adalah pilihan yang paling realistis dan manusiawi. Saya pun begitu.
Namun mengapa saya tetap ngotot dan nekat bakar kapal? Sementara sebenarnya ada pilihan yang aman dan nyaman dan lebih jelas? Karena saya memegang teguh prinsip “Lebih baik punya ending daripada gak punya cerita!”
Saya akan penasaran terus jika saya tidak membuat perusahaan sendiri. Meskipun ternyata ada satu dua bisnis yang gagal dan merugi. Gapapa, setidaknya saya jadi punya bahan cerita untuk diceritakan kepada mentee yang bertanya. Yang gagal dan rugi, ya udah lepas. Bikin lagi, mulai lagi, bangun segalanya dari awal lagi.
Semakin dijalani ternyata semakin ngebentuk mentalitas saya dan cara pandang saya terhadap dunia. Semakin gak neko-neko. Semakin tau apa yang cocok buat saya dan apa yang too much buat saya. Semakin pandai dalam mengelola ekspektasi. Semakin kuat kaki berdiri. Semakin jauh kaki melangkah. Itu semua didapatkan dari prinsip “Lebih baik punya ending daripada gak pernah punya cerita.”
Prinsip tersebut yang ngebentuk mental saya kayak sekarang. Kalau ilmu dan wawasan, itu kita bisa belajar dari siapa aja akan tetapi kalo soal mental, itu gak bisa diajarin. Harus ngalamin sendiri. Misalnya gini;
“ah elu ngapain bikin coffeeshop, paling endingnya gitu-gitu aja”
Ya biarin dong. Lebih baik punya ending daripada gak pernah punya cerita.
Memang bisnis coffeeshop saya gagal total dan rugi banyak, asset terbuang. Tapi jadi punya cerita yang membekas ketika suatu waktu ketemu Barista yang kebetulan lagi ada investor yang mau ngemodalin barista tersebut untuk bikin coffeehop, ujung-ujungnya malah saya diajak kerjasama sampai sekarang gara-gara saya punya kisah kegagalan dalam mengelola coffeeshop 😄
Memang udah jalannya begitu kali ya.
Seringkali kegagalan saya berujung pada opportunity baru. Dan itu sebabnya saya tidak pernah ragu untuk melangkah. Lebih baik punya ending daripada gak pernah punya cerita.
Jadi kamu punya cerita apa?
Coba share di kolom komentar 🙂