Ekspresi, bukan Impresi

Hidayat Abisena
3 min readAug 26

--

Hari ke-1 dari 30 membangun habit storytelling

Tadi malam saya menamatkan buku Atomic Habits yang sebenarnya memang tinggal sepertiga halaman lagi untuk diselesaikan. Dilanjutkan dengan mendengarkan “Lagu Tanpa Huruf R”, sebuah karya cantik persembahan dari Nadya Fatira, sebelum akhirnya saya beranjak ke tempat tidur tepat pukul 1:30 WIB.

Entah mengapa mata seakan sulit sekali terkejap. Karena ternyata pikiran ini mencoba untuk mencerna apa action plan yang bisa dilakukan setelah menamatkan sebuah buku. Ditambah lantunan nada dan lirik “Lagu Tanpa Huruf R” tadi, mengantarkan saya pada sebuah premise: “Aku harus membangun kebiasaan menulis, bercerita, menyampaikan gagasan secara runut dan terstruktur selama 30 hari berturut-turut.”

Dan inilah hari pertama dari tiga puluh hari m̵e̵n̵c̵a̵r̵i̵ ̵c̵i̵n̵t̵a̵ membangun kebiasaan menulis dan bercerita. Dan kenapa kebiasaan tersebut menjadi penting?

1. Ekspresi, bukan Impresi

Sesuatu yang dibuat demi impresi agar memberikan kesan mendalam terhadap pikiran dan perasaan orang lain, terkadang outputnya tidak terasa genuine, cenderung fabricated. Seperti ada beban tersendiri ketika melakukannya. Minimal ada hasil yang ingin diraih supaya sesuai ekspektasi.

Impresi tersebut membatasi diri untuk memulai sesuatu, melakukan sesuatu, atau sekedar membagikan hal-hal bermanfaat yang secara spesifik hanya ingin kita bagikan kepada seseorang.

Misalnya ada momen dimana kita diminta untuk menyampaikan ide di suatu forum. Mungkin tidak semua orang bisa langsung dengan lugas menyampaikan apa yang ada di kepalanya secara verbal. Tiba-tiba lidah terasa kelu. Tenggorokan mendadak kering. Tangan jadi tremor. Perut keroncongan. Itu lapar sodara-sodara, but anyway, bisa jadi karena kita sedang mengkhawatirkan impresi orang lain terhadap kita. Khawatir apa yang kita sampaikan tidak ada signifikansinya. Lain kali ketika dihadapkan pada situasi dimana kita harus berbicara, ekspresikan saja tanpa perlu memikirkan impresi.

Ada kalimat dari lirik lagu yang sering saya jadikan pedoman:

Dia hanya punya modal cinta. Yang Dia embuskan dalam setiap lagunya. Tak inginkan semua ‘tuk suka. Dia hanya ingin tuliskan lagu. Tentang semua yang ada dalam hatinya. Bila tak suka tentu saja tak mengapa. ~ Lagu Tanpa Huruf R, Nadya Fatira

Serius deh, lagu dan liriknya bagus banget buat menegaskan pentingnya kita berekspresi secara jujur. Sesederhana itu bagi kita untuk mengekspresikan apa yang kita rasakan tanpa harus ada validasi dari orang-orang di sekitar. Prinsipnya, “Exposing your dark side doesn’t frighten me. Hiding it does!”

Tapi jadi agak-agak melenceng yah dari ide awal kenapa kebiasaan menulis itu penting, hahaha. But you got the point, right? Aren’t you 👀

2. Pada setiap pekerjaan yang berhubungan dengan “how to influence people”, kemampuan bercerita akan menjadi pembeda

Pernah dengar istilah Mountain Mover? Orang-orang yang dengan kemampuan storytelling nya mampu memindahkan gunung. Tentu saja itu hanya kiasan tapi kalau kita lihat Steve Jobs, bagaimana cara dia bercerita tentang gagasan sebuah alat komunikasi yang mampu mengguncang dunia. Gagasan tersebut mengerahkan segenap kemampuan terbaik dari seluruh karyawan Apple untuk akhirnya dengan bangga meluncurkan iPhone pertama mereka di akhir bulan Juni tahun 2007. Produk yang beneran menggeser “gunung” dari garasi Silicon Valley ke Apple Infinite Loop Cupertino yang berjarak 12 km.

At the end of the day, kita memang bukanlah Steve Jobs. Kita, ordinary people yang tengah berjuang menemukan tempatnya di dunia ini, bisa menjadi someone — something dengan cara mengasah kemampuan storytelling. Dan langkah pertamanya dimulai dengan membiasakan diri untuk menulis. Mengekspresikan apa yang kita lihat, dengar, rasakan ke dalam tulisan. Tanpa impresi, tanpa perlu ada validasi. Akan ada masanya ketika kebiasaan sudah terbentuk, kita mulai kepikiran untuk mengubah nasib menjadi lebih baik dengan cara meningkatkan kualitas dari apa-apa yang kita lihat, dengar dan rasakan.

Well, untuk tulisan hari pertama, rasanya cukup segini dulu. Pada akhirnya ini soal kebiasaan. Kebiasaan baik yang diulang-ulang secara terus menerus, lama-lama akan menjadi nasib baik. Semoga!!!

Kamu bisa juga lho, memulai rajin menulis kembali. Coba lihat-lihat lagi Blogspot-mu yang kini telah jadi sarang laba-laba. Coba login lagi ke Tumblr-mu tempat kamu menumpahkan keluh kesah panjang tentang seseorang. Coba baca-baca lagi tulisan-tulisanmu di Wordpress sambil senyam-senyum sendiri. Dan cobalah mulai lagi membuat tulisan dari hati.

Sesuatu yang dibuat pakai hati, akan sampai pula ke hati.

--

--